Jakarta(BN)-Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan mempertanyakan tujuan dan urgensi pembentukan holding BUMN pangan yang telah diluncurkan pemerintah dengan identitas baru bernama ID Food. Pasalnya hal ini mempertegas indikasi pendekatan bisnis semata bagi penanganan pangan di tanah air, padahal mestinya pemerintah memprioritaskan amanat Undang-Undang Pangan untuk merealisasikan Badan Pangan Nasional.
“Amanat undang-undang adalah membentuk Badan Pangan Nasional, kok yang dikerjakan malah buat holding pangan,” ujar Johan saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IV DPR RI dengan Perum Bulog dan BUMN Klaster Pangan di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Senin (17/1/2022).
Legislator dapil Nusa Tenggara Barat I tersebut menuturkan, dengan dilakukannya merger 6 BUMN yang tergabung dalam BUMN klaster pangan oleh pemerintah, padahal kondisi internal BUMN yang banyak bermasalah akan menyebabkan market pangan tidak berpihak pada kepentingan petani dan seringkali tidak berfungsi membantu mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Selain itu Johan juga mempertanyakan core business dan portofolio Perum Bulog sebagai stabilisator harga pangan karena secara internal saja mengalami persoalan sebagai BUMN yang memiliki hutang paling tinggi, yang mencapai Rp13 triliun per Desember 2021.
Johan meminta penjelasan terkait belum dilakukannya aktivasi atas pembentukan Badan Pangan Nasional sesuai dengan Perpres Nomor 66 Tahun 2021, padahal urgensinya sangat mendesak di tengah fluktuasi harga pangan yang tidak terkendali sepanjang tahun. “Saya minta pemerintah lebih taat melaksanakan perintah undang-undang pangan demi cita-cita nasional,” ucap Johan.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini secara tegas meminta jaminan agar BUMN harus berperan penting untuk mengatasi persoalan pangan di tanah air terutama persoalan ketersediaan dan harga yang fluktuatif. “Saya menandaskan agar kita lebih berani melepaskan diri dari belenggu Impor Pangan, terutama komoditas gula, garam, bawang putih, gandum, daging dan kedelai,” papar Johan.
“Impor pangan telah terbukti menyusahkan dan menyulitkan kondisi petani, apalagi dilakukan saat panen raya di berbagai daerah, bahkan menurutnya berdasarkan Data BPS menyebutkan bahwa pada semester 1 tahun 2021, negara kita telah melakukan impor pangan senilai US$ 6,13 miliar atau setara Rp86,21 triliun,” urainya.
Johan memaparkan, selama ini BUMN selalu mendapatkan penugasan pemerintah untuk melakukan impor pangan yang kuotanya selalu naik setiap tahun. Untuk itu, tahun 2022 ini dirinya berharap agar pemerintah berani menghentikan impor pangan terutama komoditi gula yang sudah direncanakan akan diimpor sebanyak 150.000 ton, hal ini pasti meresahkan petani tebu dan berbagai asosiasi gula di tanah air.
“Saya selalu mendorong pemerintah memperkuat kemandirian pangan sehingga kita tidak perlu impor tapi mampu memaksimalkan penyerapan dari produksi lokal dan berupaya menanam modal untuk peningkatan produksi dan kualitas agroindustri yang berdaya saing global,” tutup Johan.